B U K I T T I N G G I
detail news

02 May,2016 00:05

Refungsi KAN sebagai Katup Penyelamat (SAVETY-VALVE) Konflik Pertanahan di Sumbar

Tidak bisa dipungkiri persoalan tanah merupakan hajat hidup orang banyak yang melahirkan berbagai konflik ditataran masyarakat, konflik yang terjadi telah membuat tatanan masyarakat menjadi porak-poranda, bukan saja telah terjadi sengketa kepemilikan di Pengadilan akan tetapai juga telah memisahkan hubungan kekerabatan dua orang bersaudara.

 

Dari data Kanwil BPN Sumbar yang ada selama tahun 2007 lalu saja sudah terjadi 938 sengketa tanah, dengan rician masalah penguasaan dan pemilikan 457 kasus, masalah prosedur penetapan hak dan pendaftaran tanah 318 kasus, penentuan batas dan letak bidang tanah 50 kasus, ganti rugi tanah ex partikelir 3 kasus, masalah tanah ulayat 67 kasus, tanah objek landreform 18 kasus, pengadaan tanah 5 kasus, pelaksanaan putusan pengadilan 20 kasus, dengan jumlah keseluruhan 938 kasus. Dan selama tahun 2008 ini saja sudah ada 150 target penyelesaian sengketa tanah.

 

Begitu banyaknya sengketa pertanahan di atas terlihat bahwa pilihan peradilan merupakan pilihan yang dipilih masyarakat dalam menyelesaikan sengketa tanah di sumbar, dari persoalan ini timbul berbagai pertanyaan bagaimana dengan keberadaan KAN ?, tidak mampukah KAN mengambil perananan dalam persoalan tersebut ? ataukah ketidak mampuan KAN memainkan peranannya ? atau mingkin ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga ini ?

 

Kalau kita melihat di Atas dasar kepemilikan komunal atas ulayat di Minangkabau ini sangat berpengaruh pada  struktur hukum baik adat maupaun negara. Sedangkan untuk saat ini 2 (dua) ketentuan hukum yang mengatur masyarakat adat minangkabau adalah; 1.Hukum Adat, 2. Hukum Positif (Negara). Kalau kita melihat bagaimana mekanisme dimana filosofi dasar dalam yang mendasari seluruh seremonial penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. Azas-azas hukum dan ketentuan dasar yang menjadi acuan bagi penyelesaian sengketa, diterima secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Seperti yang diungkap dalam pepatah adat merekayangberbunyi:“ Kamanakan barajo kamamak, Mamak barajo ka pangulu, Pangulu barajo kamufakat, Mufakat barajo kakabanaran, Kabanaran tagak sandirinyo”.

 

Pemahaman barajo (ber-raja) tidaklah mengandung pemahaman sentralistik dan hirarkis atau feodal. Kata-kata beraja maksudnya mengambil contoh atau ukuran. Tingkatan terbawah mengambil contoh/ukuran kepada tingkatan yang lebih tinggi. Ponakan mengambil contoh kepada paman (mamak), begitu seterusnya sampai kepada tingkatan yang paling tinggi, kesepakatan itu mengacu kepada kebenaran. Kebenaranlah yang paling hakiki.


Jika terjadi sebuah persengketaan ditengah-tengah masyarakat adat Minangkabau, maka sengketa itu akan diadili secara musyawarah mufakat.
Tidak ada satu kekuatan yang dapat menghegemoni musyawarah mufakat tersebut. Namun demikian ada posisi-posisi tertentu yang diberikan kewenangan untuk mengawal proses penyelesaian sengketa dan memiliki kekuasaan pengukuhan penyelesaian sengketa dimaksud.


Jika sebuah keluarga inti bersengketa dengan keluarga inti lainnya misalnya mengenai penguasaan sebidang tanah. Maka yang akan menyelesaikannya adalah Mamak Jurai. Jika sengketa itu tidak selesai pada tingkat Mamak Jurai, maka mamak jurai akan membawa penyelesaian kasus tersebut pada tingkat musyawarah paruik, dimana musyawarah tersebut di pimpin oleh Mamak Paruik/Tungganai. Jika tidak juga menemui penyelesaian maka dilanjutkan tingkat yang lebih tinggi yaitu pada tingkat kampung (dipimpin oleh Tuo Kampung) dan selanjutnya pada tingkat kaum (dipimpin pangulu kaum) dan suku (dipimpin oleh pangulu suku). Mekanisme penyelesaian sengketa ini, dilakukan dalam masalah-masalah yang melibatkan orang-orang yang menjadi anggota suku yang sama.

 
Jika masalah-masalah terjadi meliputi lintas suku, maka akan penyelesaiannya dicari dalam musyawarah yang dilakukan oleh pangulu yang anggotanya bersengketa. Penyelesaian dapat juga dilakukan dalam musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang atau pimpinan-pimpinan yang ditugaskan oleh pangulu suku.


Selanjutnya, mekanisme penyelesaian sengketa pada tingkat yang lebih tinggi atau pada tingkat nagari, dipengaruhi oleh stelsel hukum yang dianut oleh nagari yang bersangkutan. Apakah nagari tersebut penganut stelsel Koto Piliang atau Stelsel Bodi Chaniago. Namun pada prinsipnya musyawarah tetap dilakukan oleh wakil-wakil suku/Pangulu Suku yang ada dalam nagari tersebut.


Mekanisme penyelesaian sengketa pada tingkat yang lebih tinggi, apakah itu masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan pada suatu nagari atau antara nagari-nagari tertentu, dipengaruhi juga oleh stelsel yang dianut oleh nagari tersebut. Disamping itu ada organ-organ pemerintahan tertentu yang diberikan kewenangan untuk itu.

 

Mencermati fenomena di atas, ternyata fungsionaris adat atau katakanlah melalui sebuah lembaga KAN atau sejenisnya memang diharapkan mampu menjadi katup penyelam dalam berbagai konflik/ sengketa pertanahan yang ada, dari persoalan ini timbul berbagai pertanyaan bagaimana dengan keberadaan KAN saat ini ?, tidak mampukah KAN mengambil perananan dan memainkan peranan dalam persoalan tersebut ? ataukah ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga KAN yang ada ?

 

Tentunya kita tidak akan semudah membalikkan telapak tangan melihat persoalan ini, karena sebagai sebuah lembaga tentunya akan dipengaruhi oleh faktor kelambagaan secara organisasional, dan berbagai kebijakan internal maupun eksternal yang mengayomi lembaga tersebut yang mengembalikan fungsi-fungsi yang seharusnya melekat dengannya, katakanlah sebuah Peraturan Nagari atau Peraturan Daerah yang mengayominya.

 

Sejalan dengan era otonomi daerah tentunya mrupakan mementum yang berharga untuk kembali memberikan kesempatan kearifan lokal untuk berupaya menyelesaikan berbagai persoalan lokal yang ada.

 

Kalau kita melihat Sumatera Barat diayomi melalui Perda tentang Pemerintahan Nagari Apabila kita melihat Peraturan Daerah Propinsi Sumbar yang mengayomi lembaga KAN terlihat dalam  Peraturan Daerah Propinsi Sumbar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, dalam beberapa pasal dinyatakan ;

pasal 7 ;

“Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat”.

Pasal 14 ;

“Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaian perselisihan sako dan pusako”.

Pasal 16 ;

“Ulayat Nagari adalah harta benda dan kekayaan nagari diluar ulayat kaum dan suku yang dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari”.

Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, diharapkan merupakan angin segar dalam penyelesaian kasus sengketa pertanahan di Sumatera Barat. Dalam pasal Perda tersebut terlihat pada Bab VII Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat.

Pasal 11

(1)  Sengketa Tanah Ulayat di Nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, “bajanjang naiak batanggo turun” dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian;

(2)  Apabila tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud ayat (1) maka pemerintah Kabupaten/Kota maupun Provinsi dapat diminta menjadi mediator dalam penyelesaiannya paling lama 6 (enam) bulan;

(3)  Apabila tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri;

(4)  Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan bahan pertimbangan hukum bagi Hakim dalam putusannya.

 

Pasal 12

(1)  Sengketa Tanah Ulayat Antar Nagari, diselesaikan oleh Kerapatan Nagari pada Nagari yang bersangkutan, menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara musyawarah dan mufakat dalam bentuk perdamaian;

(2)  Apabila tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Propinsi dapat diminta untuk menjadi mediator;

(3)  Apabila tidak tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri.

Walaupun peluang sudah terbuka bagi daerah untuk menguatkan sungsionaris adat di Sumbar, namun sejumlah persoalan masih berpotensi menjadi kendala.. Pertama, dimungkinkannya masih adanya persaingan antara pemerintah daerah dengan pemerintah nagari dalam pengelolaan sumberdaya alam nagari sehingga adanya dua-lisme kekuasaan yang sering berbenturan dalam pengelolaan hak ulayat.. Kedua, terjadi hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah nagari dengan kerapatan adat nagari (KAN) dalam pengelolaan ulayat nagari. Ini dimungkinkan oleh kondisi nagari masa lalu dan keberadaan peraturan daerah yang mengaturnya menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik tersebut, sehingga secara organisasi KAN menghadapi konflik secara kelembagaan dengan pemerintah nagari.

Mercermati peluang dan tantangan di atas ternyata lembaga adat/ fungsionaris adat/ KAN diharapkan sebagai Katup Penyalamat (Savety-Valve) seperti yang konsep yang dikemukanakan oleh Lewis Coser. Beberapa rekomendasi yang terlihat oleh penulis adalah : Pertama, Memperkuat fungsi KAN baik secara personil maupun secara kelembagaan oraganisasional. Kedua, Bagaimana upaya Pemda Kab/ Kota menaungi KAN secara organisasi melalui Perda dan dukungan pendanaan yang memadai. Ketiga, Upaya dokumentasi dan penulisan risalah pertanahan di wilayah ulayat nagari sebagai referensi dan rujukan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Keempat, Membuat peta ulayat dan melalui batas-batas alam yang telah disepakati secara bersama. Kelima, Peningkatan SDM fungsionaris adat sehingga memiliki kompetensi yang memadai.(ahda hidayat/kominfo)