B U K I T T I N G G I
detail news

17 May,2016 00:05

SEKTOR INFORMAL PROBLEM ATAU SOLUSI? (PERSPEKTIF PENATAAN RUANG)

Latar Belakang Permasalahan

Pembangunan tidak selamanya identik dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Bahkan dalam konteks intensifikasi, justru mereduksi pekerjaan dan menghilangkan peran dari pekerja yang semi-dan-tidak terampil. Sektor informal dalam konteks ini lantas mengambil peran sebagai penyerap tenaga ini lantaran menggunakan teknologi yang sesuai dan model perkerjaan yang padat karya (labour intensive). Penggunaan teknologi yang kebanyakan sekedar mengkopi apa yang dipakai di negara maju, juga menjadikan sektor informal tumbuh dengan cepat dan merasuki bidang kegiatan apa saja. Sektor ini memanfaatkan teknologi tepat guna (appropriate technology): sesumber lokal, bahan melimpah, serta daur ulang material buangan. Karena karakteristik ini, lantas sektor informal kota mendapat peran sebagai tempat pemagangan bagi tenaga kerja tak terlatih. Mereka menjadi ‘sistem pendidikan’ yang memberi bekal kepada kaum imigran dari desa yang tak terlatih pola pekerjaan kota menjadi tenaga kerja murah semi trampil yang dapat diserap oleh masyarakat kota. Terakhir, yang tak kalah penting adalah kenyataan bahwa sektor informal memberikan jaminan tersedianya kebutuhan dasar bagi sebagian terbesar masyarakat kota misalnya dengan makanan, pakaian, dan hunian informal yang ‘murah meriah.’

Peningkatan dan perkembangan potensi perdagangan dan Jasa di wilayah Kota Bukittinggi maupun kota/kabupaten di sekitarnya termasuk Kabupaten Agam memicu peningkatan pertumbuhan pedagang informal/Pedagang Kaki Lima (PKL) dimana perkembangannya  mengikuti penyebaran  fasilitas kota dan kegiatan sosial ekonomi penduduk. Kota Bukittinggi sebagai Kota Perdagangan dan jasa memiliki 3 (tiga) pasar besar yaitu Pasar Atas/pasar wisata, Pasar Bawah dan Pasar Simpang Aur. Pasar Simpang Aur berada di bagian timur Kota Bukittinggi yang dibangun pada tahun 1985. Pasar ini berfungsi sebagai pasar konveksi dengan skala grosiran disamping eceran.

Perkembangan fungsional pasar-pasar yang ada mewujudkan terjadinya penggunaan  ruang pasar, seperti di pasar atas/pasar wisata, dimana terdapat ruang-ruang pasar yang masih kosong/tidak terpakai terutama dibagian belakang atas gedung Pasar Wisata, sedangkan bagian bawah dan pelataran jalan-jalan lingkungan pasar sangat padat dan penuh dengan pedagang, termasuk Pasar Simpang Aur yang telah mengalami tumpang tindih dengan keberadaan terminal bus AKAP dan AKDP sehingga sebahagian besar PKL memanfaatkan ruas-ruas jalan dan trotoar sebagai lokasi berjualan. Hal ini telah menimbulkan ketidaksesuaian antara peruntukan (tata ruang) dengan pemanfaatannya. Selain itu terjadinya kemacetan lalu lintas disekitar Pasar Simpang Aur, karena kurangnya areal pelataran parkir dan penataan pedagang kaki lima yang menempati ruas-ruas jalan dan trotoar jalan, sehingga menyulitkan para pejalan kaki/konsumen untuk melewatinya secara nyaman. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah tingkat kekumuhan, karena desakan kebutuhan masyarakat pedagang khususnya pedagang informal/PKL untuk tinggal dan memilih akses lebih dekat terhadap lokasi usaha, tanpa memperdulikan kondisi lingkungan sekitarnya. Hal-hal semacam inilah yang akan mendatangkan kawasan kumuh/Slum Area yang lebih identik dengan kawasan kotor, padat dan sembrawut.

Semakin terbatasnya lahan untuk berdagang bagi pedagang informal/PKL di kawasan Pasar Simpang Aur berdampak pada sulitnya melakukan penataan ruang terutama dalam pengelolaan pemanfaatan ruang di Pasar. Otonomi daerah telah membatasi gerak dalam mengembangkan potensi perdagangan dan jasa terutama dalam hal penyediaan lahan.

         Dalam permasalahan pedagang informal/pedagang kaki lima di Pasar Aur Kuning tersebut di atas, melibatkan berbagai kelembagaan yang berkepentingan dan berwenang di dalamnya. Berdasarkan berbagai pengertian, kelembagaan adalah tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat, yang diwadahi dalam suatu organisasi/jaringan, serta ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun non formal, untuk pengendalian perilaku sosial serta mendorong untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Adapun kelembagaan yang terkait dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar yaitu kelembagaan negara (pemerintah), kelembagaan swasta, dan kelembagaan masyarakat.

Dalam kasus pemanfaatan ruang trotoar (pedestrian) dan ruas jalan oleh pedagang kaki lima di Pasar Simpang Aur ini, masing-masing komponen kelembagaan memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah studi. Adapun kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dimaksud, sesuai dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, adalah meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Diantara kelembagaan yang terkait tersebut, juga terjadi proses interaksi dan interdependensi. Akan tetapi, dalam proses interaksi tersebut juga muncul berbagai konflik yang terkait dengan permasalahan pencemaran. Skala konflik yang terjadi ada yang bersifat kecil, sedang, ataupun besar. Akan tetapi konflik yang bersifat kecil tidak menutup kemungkinan dapat menjadi besar, apabila dibiarkan berlarut dan tidak diselesaikan.

 

Konflik Lingkungan, Penataan Ruang dan Kelembagaan

Berdasarkan PP Nomor 54 Tahun 2000, yang dimaksud dengan sengketa lingkungan adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Konflik lingkungan dan sumber daya lingkungan dalam penataan ruang juga diartikan sebagai konflik sosial yang berpusat pada “claim” dan “reclaiming” penguasaan sumber daya alam (tanah dan air) sebagai pokok sengketa terpenting.

Sementara itu, konflik kelembagaan dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain adalah perbedaan kepentingan/kebutuhan, perbedaan persepsi serta cara pandang. Perbedaan aturan atau norma yang dipegang oleh lembaga yang berbeda dapat mengakibatkan terjadinya benturan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang. Dengan demikian, sulit untuk menghilangkan keberadaan kegiatan perdagangan informal dari jalan atau ruang publik karena keberadaannya didukung oleh faktor eksternal dan internal.

Masalah spasial muncul saat seluruh individu dari berbagai tingkat sosial dan kemampuan yang berlainan saling bersaing untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adanya konflik perebutan ruang di jalan menyebabkan terkadang berbagai pihak pengguna kehilangan rasa aman untuk mengunakan jalan karena harus terus menerus berebut hak penggunaan ruang jalan.

Peran dan Fungsi Masing-Masing Kelembagaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

dan Penataan Ruang

a. Kelembagaan Pemerintah

Instansi pemerintah pusat, yang meliputi Departemen PU, Meneg LH dan Bappenas berperan dalam kegiatan penataan yaitu terkait dengan penyusunan dan penetapan peraturan perundangan yang dikeluarkan. Peraturan perundangan yang terkait dalam kasus ini adalah mengenai lingkungan hidup, tata ruang dan ketentuan pemanfaatan kawasan.

Sementara itu pada tingkat pemerintah daerah propinsi dan kabupaten, masing-masing instansi memiliki peranan dan kegiatan yang berbeda-beda dalam pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang.  Bappeda, Dinas PU, KLH, Kantor Pol PP, Dinas Pasar, Dinas Perhubungan dan BKPRD Kota memiliki peranan dalam tahapan penataan melalui peraturan/ketetapan yang dikeluarkan. Akan tetapi Dinas PU tidak hanya dalam penataan, melainkan juga terlibat dalam tahapan pengembangan dan pemeliharaan, dengan melakukan pembangunan infrastruktur pendukung kota.

         Instansi pemerintah daerah yang terkait pada tahapan pengawasan meliputi Bappeda, Dinas PU, KLH, Kantor Pol PP, Dinas Pasar, Dinas Perhubungan dan BKPRD Kota. Sedangkan yang terlibat pada tahapan evaluasi adalah Bappeda, Dinas PU, KLH, Dinas Pasar, Dinas Perhubungan dan BKPRD Kota. Kantor Lingkungan Hidup juga terlibat aktif dalam tahapan pemulihan atas kerusakan lingkungan yang terjadi.

b. Kelembagaan Masyarakat

Dalam pengelolaan lingkungan, LSM memiliki peranan dalam tahapan penataan, pengawasan. LSM juga merupakan lembaga independen yang berfungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menghadapai permasalahan pengelolan lingkungan hidup dan tata ruang, serta dapat menjadi penghubung antara masyarakat dengan pihak pemerintah atau swasta.

Selain LSM, masyarakat adat juga memiliki peranan dalam tahapan pengawasan. Lembaga ini berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan penataan PKL di daerah kasus, agar sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan kelompok pedagang informal/PKL.

c. Kelembagaan Swasta

Kelembagaan swasta yang terkait dalam kasus ini hanya satu unsur yang terlibat. Pedagang informal/PKL terlibat dalam kegiatan pemanfaatan dan pengembangan. Kegiatan pedagang informal/PKL tersebut terkait dengan kegiatan proses penggunaan jalur pedestrian dan ruas jalan untuk melakukan jual beli.

Sementara itu, dalam tahap pengembangan PKL terus tumbuh seiring peningkatan kebutuhan dan jumlah penduduk. Peranan PKL adalah sebagai potensi konflik yang besar dengan pemerintah kota dalam rangka pengendalian ruang kota. 

 

Kesimpulan

Dalam kasus pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara peruntukan (tata ruang) dengan pemanfaatannya yang diakibatkan keberadaan Pedagang Informal/PKL di Pasar Simpang Aur Kota Bukittinggi ini melibatkan tiga pilar kelembagaan yang terdiri dari pemerintah, swasta, dan masyarakat. Masing-masing kelembagaan memiliki norma/aturan yang berbeda, tetapi bersifat saling mempengaruhi antara satu lembaga dengan lembaga lain.

Tiap kelembagaan memiliki peranan dan fungsi yang berbeda dalam pengelolaan dan manajemen lingkungan hidup dan tata ruang, tergantung pada hak dan kewajiban, serta kebutuhan kelembagaan yang terkait. Dalam pelaksanaanya, terjadi konflik antar lembaga yang bersifat kecil, sedang, ataupun besar.

Konflik yang melibatkan pedagang informal/PKL merupakan konflik yang paling banyak terjadi pada kasus ini. Ketidakpatuhan pedagang informal/PKL pada peraturan/tata tertib yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang terkait, yaitu antara lain berhubungan dengan lokasi berjualan dan batas lokasi pada bahu dan ruas jalan serta pedestrian sehingga dapat menimbulkan konflik baru.

Rekomendasi

1.      Kebijakan relokasi/pemindahan, walaupun solusi ini jelas tidak efektif, dan cendrung tidak memahami kebutuhan PKL. Pemerintah daerah mengkaburkan pentingnya suatu lokasi usaha, khususnya kesadaran dan pemahaman pentingnya konsep aglomerasi sebagai salah satu faktor lokasi maupun salah satu pola lokasi dalam teori lokasi. Belum tentu lokasi baru yang akan mereka tempati memiliki aksesibilitas yang baik, atau barangkali lokasi baru tidak memiliki identitas (nama lokasi) yang telah dikenal konsumen seperti sediakala.

2. Kebijakan pembentukan aglomerasi (klaster) usaha PKL, hal ini merupakan magnet yang memiliki sifat localization economies, berefek beruntun terhadap keuntungan usaha mereka selama ini. Walaupun terbentuknya aglomerasi merupakan gejala alamiah suatu wilayah akibat penghematan lokalisasi dan urbanisasi.

3.      Agar setiap pelaksanaan penyelesaian mengindikasikan kebutuhan dan penyelenggaraan kegiatan yang berbasis pada upaya menciptakan situasi tertib, aman dan sejahtera. Menghindari semaksimal mungkin konflik kepentingan. Atas dasar itulah perlu ditetapkan beberapa prinsip yang mendasari kerangka kerja proses konflik. Prinsip-prinsip tersebut dibangun atas lima pilar utama yaitu; (1) Menyeluruh (comprehensive), (2) Kesalingtergantungan (interdependent), (3) keberlanjutan (sustainability), (4) Strategis, dan (5) infrastuktur. Kelimanya merupakan prinsip-prinip yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan program dan kegiatan mendamaikan konflik. Kerangka kerja ini pula yang menjadi landasan dalam penyusunan rencana, implementasi strategi dan mengevaluasi keseluruhan proses atau upaya penyelesaian konflik.

4.    Untuk ke depannya, pedagang informal/PKL perlu memperoleh area yang memadai, ramah lingkungan dan tidak melanggar peruntukan ruang, terutama dalam hal proses jual beli, agar tidak mengganggu ketertiban umum dan estetika.(Teddy/Kominfo)